BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kitab
suci samawi yang bernama Al-Qur’an adalah sumber inspirasi kehidupan umat
manusia. Karena semua yang dibutuhkan oleh manusia tersedia di dalamnya.
Tinggal mau atau tidak kita mengambilnya dan menggunakannya. Jika belum
menemukan apa-apa di dalamnya, padahal kita senantiasa membacanya, boleh jadi
interaksi kita dengan Al-Qur’an belum sempurna, karena kita membacanya hanya
sekedar membaca, tanpa melihat aspek lain yang justru lebih penting.
Jika
kita menengok sejarah, saat kejayaan Islam mencapai puncaknya, kita akan
mengetahui dan menyadari bahwa umat Islam saat itu benar-benar menjadikan
Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dan inspirasi. Kalau kita kaji lebih dalam
biografi tokoh-tokoh ilmuwan pada saat ini, misalnya Ibnu Sina, Ibnu Khaldun,
Al-Khawarizmi, dan Al-Razi, kita akan mengetahui bahwa mereka adalah
orang-orang yang banyak menguasai Al-Qur’an.
Al-
Qur’an sebagai kalam Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui
sebuah proses yang disebut nuzul. Menurut Ibn Faris, kata nuzul berarti hubuth
syay’ wa wuqu’ah, turun dan jatuhnya sesuatu. Dalam fakta sejarah,
Al-Qur’an dinuzulkan dalam dua macam yaitu dinuzulkan tanpa di dahului oleh
sesuatu sebab dan dinuzulkan dengan didahului sebab (khusus). Ayat yang
dinuzulkan tanpa ada hal-hal atau kejadian yang mendahuluinya sebagai sesuatu
yang menyebabkan nuzul-nya. Sedangkan ayat-ayat yang dinuzulkan dengan di
dahului oleh sebab tertentu adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang dinuzulkan
berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa dan sebagainya, yang seakan-akan
semua itu menjadi sebab di Nuzulkannya ayat Al-Qur’an.
Dari sinilah penulis tertarik untuk membahas tema tentang Nuzul
Al-Qur’an dan Asbab Al-Nuzul, karena dari penjelasan diatas ternyata masih
banyak kaum awam yang belum paham betul tentang nuzul qur’an dan asbab
al-nuzul.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nuzul Al-Qur’an dan Tahapan Turunnya
1.
Pengertian Nuzul al- Qur’an
Kata
nuzul al-Qur’an adalah gabungan dari dua kata, yang dalam bahasa Arab
susunan semacam ini disebut dengan istilah tarkib idlafi, dan dalam bahasa
Indonesia biasa diartikan dengan, turunnya al-Quran.
Dalam bahasa Arab, kata “nazala” dapat berarti: “meluncur
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”.Pengertian konteks semacam ini,
misalnya dapat disimak di dalam salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat
yang diberkati, dan Engkau adalah Sebaik-baik yang memberi tempat. Q.S.
Al-Mukminuun (29)".
Nuzul, secara etimologi dapat berarti singgah atau tiba di tempat
tertentu. Makna nuzul dalam pengertian yang disebut terakhir ini dalam
kebiasaan orang Arab menurut ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany sebagai makna hakiki.
Sehingga kata singgah, mampir atau tiba umpamanya, sering diungkapkan oleh
orang Arab dalam formasi seperti berikut ini yakni: “Seorang penguasa singgah
atau tiba di suatu tempat”.[1]
Al-quran
sebagai kalam Allah s.w.t. disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui
sebuah proses yang disebut nuzul. Secara etimologi, kata nuzul memiliki banyak
pengertian. Menurut Ibn Faris, kata nuzul berarti hubuth syay’ wa wuqu’ah,
turun dan jatuhnya sesuatu. Sedangkan menurut al-Raghib al-Isfahaniy, kata
nuzul berarti al-inhidar min ‘ulw ila asfal, meluncur atau turun dari
atas ke bawah. Nuzul dalam pengertian ini dapat dijumapai dalam QS. Al-Baqarah
ayat 22.
Kata
nuzul, bisa juga berarti singgah atau tiba di tempat tertentu. Pengertian ini,
sebagaimana dikatakan al-Zamakhsyariy dalam kitabnya, Asas al-Balaghah,
menganggap pengertian sebagai makna hakiki.
al-Zarqaniy
berpendapat bahwa yang dimaksud nuzul adalah al-‘ilam bih, yaitu
pemberitahuan Allah dalam segala aspeknya. Sementara itu digunakan
istilah-istilah inzal, tanzil, munzzal dan nuzul mengisyaratkan
akan keagungan dan kebesaran Allah sebagai pemilik kalam. Jadi pengertian nuzul
al-quran dalam arti berpindahnya al-quran dari atas ke bawah tidaklah
tepat. Kata nuzul ketika diartikan (ta’wil) kepada al-i’llam hilanglah arti perpindahan sesuatu dari atas
ke bawah, sebab pemberitahuan Allah mengenai apapun kepada manusia tidak
terikat oleh arah dan waktu.
Pentakwilan
tersebut menurut Al-zarqaniy lebih sesuai dengan kedudukan dan eksistensi
Al-quran sendiri. Alasannya, bahwa yang harus diacu dari kalam Allah adalah dalallah
dan pemahamannya. Pentakwilan kata nuzul dengan i’lam berarti kembali
kepada apa yang telah diketahui dan dipahami dari yang diacunya. Kemudian yang
dimaksud Al-quran Lauh al-Mahfuzh (QS. Al-Buruj ayat 21-22) dan Bait al’Izzah
serta dalam hati Nabi berarti juga Alquran yang telah diberitahukan Allah di
kedua tempat dan di bumi sesuai dengan kehendak-Nya sebagai petunjuk bagi
manusia.[2] Dalam
pada itu harus diakui bahwa bumi sebagai temapt Nabi Muhammad menerima wahyu,
secara makro, posisinya dalam keseluruhan tata surya tidak terletak pada posisi
yang konstan dan permanen. Hal ini karena terjadi dengan revolusi dan evolusi.
Akibat rotasi bumi, muncul waktu siang dan waktu malam. Dalam proses rotasi,
revolusi dan evolusi, manusia tidak merasakan apakah dirinya berada persis pada
posisi berdiri di atas punggung bumi atau bahkan sebenarnya ia tergantung di
bumi dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Sekiranya tidak terikat
oleh hukum grafitasi, niscaya ia terlempar dari perputaran bumi.[3]
Demikian halnya dengan Nabi Muhammad s.a.w sebagai penerima nuzul, beliau
terikat dengan rotasi dan grafitasi bumi, terikat dengan revolusi dan evolusi
tata surya. Inilah fakta yang tidak dapat dibantah, termasuk setiap beliau menerima
nuzul Al-Qur’an.
Kendati ada
ungkapan atas bawah, jika dihubungkan dengan musyabbah bih, maka itu
hanyalah hissi saja dan hanya bersifat ma’nawi jika dihubungkan dengan musyabbahnya.
Oleh karen itu, penetapan kata nuzul dan sejenisnya tidak dimaksudkan untuk
memberi kesan Al-Qur’an nuzul dari atas, tetapi Al-Qur’an bersumber dari zat
yang Agung yang berkedudukan Maha Tinggi.
2.
Tahapan Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana
dimaklumi, bahwa Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasul-Nya, Muhammad s.a.w,
melalui “Amin al-Wahyi” (Jibril a.s). sementara itu, para ulama berbeda
pendapat mengenai tahapan-tahapan turunnya wahyu tersebut sebelum disampaikan
kepada Rasul pilihan-Nya itu. Pendapat-pendapat dimaksudkan ialah:[4]
Alquran
sebagai dikemukakan para ulama di nuzulkan dalam tiga tahapan, yaitu ke lawh
mahfuzh, ke langit dunia (Bait al-‘Izzah) dan ke bumi (Nabi Muhammad). Namun,
untuk tahapan pertama menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, tidak
digunakan istilah nuzul.[5]
Sayangnya, ia tidak menjelaskan alasan-alasan yang mendukung pendapatnya.
a.
Nuzul Al-quran pada tahap pertama
Untuk nuzul tahap pertama ini, cara dan kapan nuzul Al-Quran tidak
dapat diketahui, kecuali Allah saja yang mengetahuinya. Akan tetapi, para ulama
sepakat bahwa nuzul Al-Quran ke Lawh Mahfuzh secara sekaligus. Sebagai
dijelaskan QS. al-Buruj, ayat 21-22
ö@t/ uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ Îû 8yöqs9 ¤âqàÿøt¤C ÇËËÈ
Artinya: “Bahkan (yang didustakan mereka itu) ialah Al Quran yang mulia, yang (tersimpan)
dalam Lauh Mahfuzh”.
Nuzul
Al-Quran pada tahap ini memiliki hikmah tersendiri. Dalam hal ini Muhammad bin
Muhammad Abu Syuhbah mengatakan bahwa hikmah Nuzul pada tahap ini kembali
kepada ke hikmahnya yang umum yang berhubungan dengan Lawh Mahfuzh, bahwa ia
merupakan catatan komprehensif tentang segala ketentuan Allah, baik yang telah
maupun yang akan terjadi di alam maujud. Ia merupakan bukti keagungan ilmu,
iradah dan keluasan kekuasaan-Nya. Menyakini hal ini akan mendorong seseorang
untuk semakin memantapkan dan mengokohkan keimanannya kepada Allah, menimbulkan
rasa positif (rida) terhadap apa-apa yang telah diberikan Allah kepada semua
makhluk-Nya.[6]
b.
Nuzul Al-Quran pada tahap kedua
Dalam tahap ini, Al-Quran yang dinuzulkan dari Lawh Mahfuzh ke Bait
al ‘Izzah terjadi secara sekaligus pula. Dalil Naqli yang dapat dikemukakan
adalah QS. Al-Baqarah ayat 185, QS. Al-Dukhan ayat 2 dan QS. Al-Qadr ayat 1.
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$#
Artinya : “Bulan Ramadan (masa) yang didalamnya Al-Quran
dinuzulkan...” (QS. Al-Baqarah ayat 185)
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû 7's#øs9 >px.t»t6B 4
Artinya : “Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkah...” (QS. Al-Dukhan ayat 3)
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ
Artinya : “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan..” (QS. Al-Qadr ayat
1)
Menurut
ketiga ayat ini, Al-Quran dinuzulkan secara sekaligus di bulan Ramadan yang
didalamnya terdapat malam al-Qadr. Tetapi, ada juga para ulama yang menganggap
ayat-ayat diatas sebagai dalil bagi nuzul Al-Quran yang pertama ke bumi.
al-Zarqaniy mengambil pendapat yang menyatakan Al-Quran pada tahap ini
dinuzulkan dalam satu malam, bukan sejumlah malam. Kata laylah pada
ayat-ayat di atas menunjukkan arti Al-Quran dinuzulkan dalam satu malam.[7]
Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu tidak
secara sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu lebih dari
20 tahun.
c.
Nuzul Al-Quran pada tahap ketiga
Tahap
selanjutnya Al-Quran dinuzulkan dari Bait al ‘Izzah kepada Nabi Muhammad di
bumi secara berangsur-angsur (tanjim). Mengenai lamanya tempo
yang dibahiskan untuk menuzulkan Al-Quran pada tahap ini sebagaimana
dikemukakan ‘Abd al-Majid Ghazlan ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan
Al-Quran dinuzulkan berturut-turut selama 20 tahun, Nabi Muhammad menerima
Al-Quran selama 23 tahun, dan ada yang menyebutkan 25 tahun berbedaan tersebut
disebabkan oleh perbedaan pendapat mereka tentang berapa lama beliau tinggal di
Mekkah setelah diangkat menjadi Rasul. Namun, dalam kurun waktu yang hampir
mendekati seperempat abad itu dapat diketahui bahwa Al-Quran dinuzulkan secara
berangsur-angsur.
Dalil-dalil
yang dapat dijadikan rujukan untuk mendukung pendapat di atas, diantaranya QS.
al-Isro’ ayat 106 dan al-Furqon ayat 32. Kedua ayat ini dinuzulkan sebagai
respon terhadap musyrikin yang mencela Nabi Muhammad. Meraka menuntut agar dinuzulkan
secara sekaligus. Dan memang kenyataannya kitab-kitab sebelum Al-Quran
dinuzulkan secara sekaligus.
Mengenai
nuzul Al-Quran pada tahap ini memiliki banyak hikmah. Muhammad Bakr Isma’il
dalam kitabnya, Dirasat fi ‘ulum Alquran, mengemukakannya secara panjang lebar
diantaranya:[8]
1.
Untuk
memudahkan Nabi saw dalam menghafal (hifzh)Al-Quran, mengingat Al-Quran
bukanlah syair atau prosa (nadsr), tetapi kalam Allah yang sangat
berbobot isi maknanya, sehingga memerlukan hafalan dan kajian secara khusus.
2.
Agar
mudah di mengerti dan di laksanakan segala isinya oleh umat islam, sebab jika
diberikan secara sekaligus orang-orang akan enggan melaksanakan suruhan dan
larangan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Quran.
3.
Untuk
meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup semasa dengan nabi. Mereka
semenjak permulaan perjuangannya sudah banyak menemukan dan merasakan kepahitan
dan penindasan. Untuk mempermudah penghafalan mereka sangat signifikan jika
Al-Quran dinuzulkan secara bertahap: terlebih mereka itu pada umumnya buta
huruf.
B. Dalil dan Bukti Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana
telah dimaklumi, bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah s.a.w selama
rentang waktu kurang lebih 23 tahun, sesuai dengan kasus dan peristiwa yang
mendahuluinya, dan sejalan dengan tuntutan situasi dan keadaan masyarakat yang
menjadi obyek turunnya.[9]
Turunnya
Al-Qur’an secara berangsur-angsur disesuaikan dengan metode Islam dalam
mengubah masyarakat manusia, dan sesuai pula dengan fitrah yang dimilikinya.
Kesesuaian antara cara turunnya Al-Qur’an yang berangsur-angsur dengan metode
islam yang gradual dalam melakukan perubahan sosial, dan juga dengan
sunnah Allah dalam mengubah masyarakat, merupakan salah satu bukti tentang
kesatuan sumber penciptaan alam semesta, kehidupan dan manusia. selain itu juga
mengandung bukti yang final, bahwa “sumber Al-Qur’an adalah juga pencipta
manusia dan alam semesta.
Turunnya
Al-Qur’an secara berangsur-angsur mempunyai dampak dan pengaruh yang mendalam
terhadap penyebaran da’wah Islam. Juga berangsur-angsur dalam pewahyuannya,
dikarenakan oleh hikmah-hikmah yang khusus diperuntukkan bagi al-Qur’an, rasul,
dan orang-orang yang menerima serta mengikuti perintah-Nya. Kebanyakan ulama’
berpendapat, bahwa satu-satunya kitab samawiy yang diturunkan secara
berangsur-angsur hanyalah al-Qur’an
Hal ini diabadikan oleh Allah S.W.T di dalam firmannya:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. wöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd ZoyÏnºur 4 y7Ï9ºx2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8y#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös? ÇÌËÈ wur y7tRqè?ù't @@sVyJÎ/ wÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·Å¡øÿs? ÇÌÌÈ
Artinya : berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al
Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; Demikianlah
untuk memperteguhkan hatimu (Muhammad) dengannya, dan Kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya.Q.S. (25): 32-33.
C. Pengertian Asbab Al-Nuzul
Para
ulama ulum al-Qur’an menganggap penting asbab nuzul, sebab al-Qur’an
menurut Suyuti turun dalam dua bentuk: pertama, ibtida’an, turun yang
tidak didahului oleh sebab-sebab tertentu, kedua, ayat yang turun karena
sebab-sebab tertentu.[10]
Namun demikian, pembahasan para ulama ulum Qur’an hanya berkaitan
dengan nilai pentingnya asbab nuzul dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Mereka
mencatat beberapa faedah mengetahui asbab nuzul. Di antaranya dapat
mengetahui hikmah yang mendorong disyari’atkannya hukum, penentuan hukum bagi
orang yang berpegang pada kaidah al-Ibrah bi khusus sabab, dapat
mengetahui makna ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda-beda, dan dapat mengetahui
peritiwa penghapusan ayat.[11]
Pengertian
Asbab al-Nuzul, kata asbab (tunggal:sabab) berarti alasan
atau sebab. Asbab al-Nuzul berarrti pengetahuan tentang sebab-sebab
diturunkannya suatu ayat.[12]
Asbab
adalah bentuk plural (jama’) dari kata sabab yang
dalam bahasa Indonesia biasa diartikan: sebab, alasan, motif, latar belakang
dan lain-lain. Jadi asbab al-nuzul adalah sebab-sebab turunnya ayat
al-qur’an.[13]
Dalam
al-Qur’an, kata asbab diungkapkan
sebanyak delapan kali, empat kali dalam bentuk singular (tunggal)
dan empat kali dalam bentuk plural (jama’).
Ke empat bentuk tunggal tersebut berkenaan dengan kisah
Dzulkarnain, yang diabadikan dalam firman Allah:
$¯RÎ) $¨Y©3tB ¼çms9 Îû ÇÚöF{$# çm»oY÷s?#uäur `ÏB Èe@ä. &äóÓx« $Y7t6y ÇÑÍÈ yìt7ø?r'sù $·7t6y ÇÑÎÈ
Artinya : Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di
(muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala
sesuatu, Maka diapun menempuh suatu jalan. Q.S. (18): 84-85.
Selain itu kata asbab diabadikan oleh Allah berikut ini:
tA$s%ur ãböqtãöÏù ß`»yJ»yg»t Èûøó$# Í< %[n÷|À þÌj?yè©9 à÷è=ö/r& |=»t7óF{$# ÇÌÏÈ |=»t7ór& ÏNºuq»yJ¡¡9$# yìÎ=©Ûr'sù #n<Î) Ïm»s9Î) 4ÓyqãB ÎoTÎ)ur ¼çmZàßV{ $\/É»2 4 y7Ï9ºx2ur tûÉiïã tböqtãöÏÿÏ9 âäþqß ¾Ï&Î#yJt㠣߹ur Ç`tã È@Î6¡¡9$# 4 $tBur ßø2 cöqtãöÏù wÎ) Îû 5>$t6s? ÇÌÐÈ
Artinya : Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah
bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan Sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang
baik perbuatan yang buruk itu, dan Dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan
tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. Q.S. (40): 36-37.
Kata
asbab dalam ayat yang terakhir ini berarti “abwah” (pintu-pintu).[14]
Dengan memperhatikan kenyataan diatas, kiranya dapat dikatakan, bahwa kata sabab
dan atau asbab adalah termasuk kalimat musytarak yang mempunyai beberapa
arti, sebagaimana telah dikemukakan diatas. Demikian pengertian asbab al-nuzul
secara etimologi.
Sedangkan
secara terminologi, dapat dikemukakan batasan-batasan pengertian yang berhasil
diformulasikan oleh para ulama”. Batasan-batasan tersebut salah satu
diantaranya adalah sabab Al-Nuzul adalah Suatu yang menjadi sebab turunnya
sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab
turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan atau hukum yang
diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa.[15]
Dan para pakar ilmu-ilmu al-Quran misalnya syekh Abd Al-Azhim
Al-Zarqaniy dalam Manahil Al-Irfan-nya juga mendefinisikan Asbab Al-Nuzul atau
sebab Nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan
turunnya ayat, atau ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penjelasan hukum pada saat itu.[16]
D. Macam-macam
Sabab Al-Nuzul
Bila diperhatikan dengan seksama, asbab al-nuzul ayat
al-Qur’an itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu: pertama, segi bentuk
sebab turunnya ayat. Kedua, jumlah sebab dan ayat yang turun.
Dari segi bentuknya, “asbab al-nuzul” dapat dibagi dua
yaitu:
1.
Berbentuk
Peristiwa
Adapun
sebab-sebab nuzul yang berbentuk peristiwa dapat dibagi menjadi tiga yaitu:[17]
a.
Peristiwa
berupa pertengkaran atau persengketaan, seperti perselisihan berkecamuk yang
terjadi antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari suku Khazraj.
Perselisihan itu timbul dari intrik-intrik atau hasil adu domba yang disulutkan
oleh orang-orang Yahudi, sehingga mereka berteriak-teriak dengan mengatakan,
“senjata, senjata”. Peristiw tersebut melatarbelakangi turunnya beberapa ayat,
salah satunya adalah Alu ‘Imran Q.S. (2): 100.
b.
Peristiwa
berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang sahabat yang mengimami
salat dalam keadaan sedang mabuk, sehingga mengalami kekliruan dalam membaca suatu
surah setelah al-Fatihah yaitu surah al-Khafirun yang dinaksud, tanpa membaca
huruf “la” pada ayat “laa a’buduma ta’budhunn”. Peristiwa itu menyebabbkan
turunnya firman Allah yaitu surah An-nisa’ (43)
c.
Peristiwa
berupa hasyrat, cita-cita atau keinginan seperti kesesuaian-kesesuaian hasrat
dan keinginan Umar bin Khaththab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat al-Qur’an
yang diturunkan Allah.menurut riwayat dari sahabat Anas r.a ada beberapa
harapan Umar yang dikemukakannya kepada Nabi Muhammad s.a.w, kemudin turunlah
ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan dan
keinginan-keinginan Umar tersebut.
2.
Berbentuk
Pertanyaan
Sabab-sabab
al-Nuzul yang berbentuk pertanyaan juga dapat dikelompokkan menjadi tiga macam
yaitu: [18]
a.
Pertanyaan
yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu, sperti kasus pertanyaan yang
diajukan oleh orang-orang Quraisy tentang “Ashbab al-Khafi” dan “Dzulkarnain”.
b.
Pertanyaan
yang berhubungan dengan sesuatu yang masih sedang berlangsung (pada saat itu).
c.
Pertanyaan
yang berhubungan dengan masa yang akan datang; seperti pertanyaan orang-orang
kafir quraisy tentang hari kiamat.
Dari segi
jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab al-nuzul dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1.
Ta’addud
al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turun
ayat lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat itu atau
sekelompok ayat yang turun itu adalah satu juga).
2.
Ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid (inti yang terkandung dalam ayat yang diturunkan lebih dari satu
sedang sebab turunnya satu).
E. Pentingnya Asbab Al-Nuzul dalam memahami ayat Al-Qur’an
Asbab al-Nuzul mempunyai arti
penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Pemahaman asbab al-Nuzul akan
sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk
menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya
kekeliruan akan semakin besar jika mengabaikan riwayat sabab al-nuzul. Maka
dari itu fungsi memahami asbab al-nuzul sangatlah penting antara lain
adalah:[19]
1.
Mengetahui
hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap
kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin, dan agama.
2.
Membantu
memeberikan kejelasasn terhadap beberapa ayat.
3.
Dapat
mengkhususkan hukum berbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah
“sabab khusus”.
4.
Dapat
membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus,
selanjutnya dalam hal apa ayat itu diterapkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah memaparkan pengertian Nuzul Al-Qur’an dan Asbab Al-Nuzul
maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kata
nuzul al-Qur’an adalah gabungan dari dua kata, yang dalam bahasa Arab
susunan semacam ini disebut dengan istilah tarkib idlafi, dan dalam bahasa
Indonesia biasa diartikan dengan, turunnya al-Quran. Dalam bahasa Arab, kata “nazala”
dapat berarti: “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”.
2.
Alquran
sebagai dikemukakan para ulama di nuzulkan dalam tiga tahapan, yaitu ke lawh
mahfuzh, ke langit dunia (Bait al-‘Izzah) dan ke bumi (Nabi Muhammad).
3.
Pengertian
Asbab al-Nuzul, kata asbab (tunggal:sabab) berarti alasan
atau sebab. Asbab al-Nuzul berarrti pengetahuan tentang sebab-sebab
diturunkannya suatu ayat. Asbab adalah bentuk plural (jama’) dari
kata sabab yang dalam bahasa Indonesia biasa diartikan: sebab, alasan,
motif, latar belakang dan lain-lain. Jadi asbab al-nuzul adalah
sebab-sebab turunnya ayat al-qur’an.
4.
Bila
diperhatikan dengan seksama, asbab al-nuzul ayat al-Qur’an itu dapat
dibedakan menjadi dua yaitu: pertama, segi bentuk sebab turunnya ayat. Kedua,
jumlah sebab dan ayat yang turun.
5.
Maka
dari itu fungsi memahami asbab al-nuzul sangatlah penting antara lain
adalah: Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian
syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin, dan
agama, Membantu memeberikan kejelasasn terhadap beberapa ayat, Dapat
mengkhususkan hukum berbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah
“sabab khusus”, Dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau
berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diterapkan.
B. Saran
Dalam penulisan Makalah ini penulis sangat menyadari akan
kekurangan yang dimiliki, terutama dalam memeperoleh dan menggambarkan
informasi mengenai tema ini. Oleh karena itu saran dan kritik dari berbagai
pihak sangat penulisan harapkan. Dan semoga makalah yang jauh dari kesempurnaan
ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
‘Azhim al-Zarqaniy, Muhammad. 1988. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum
al-Qur’an, jilid. I, t.tp : al- Babi al-Halabi.
Nawawi, Rif’at Syauqi dan M.Ali
Hasan. 1988. Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. Ke-1; Jakarta: Bulan Bintang.
Marzuki, Kamaluddin. 1992. Ulum al-Qur’an, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Supiana dan Karman. 2002. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka
Islamika.
Usman. 2009. Ulumul
Qur’an, Yogyakarta: Penerbit TERAS.
Wijaya, Aksin. 2009. Arah Baru
Studi Ulum Al-Qur’an, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Shihab, Quraish. dkk, 2008. Sejarah
dan Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Departemen
Agama, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Hermawan, Acep.
2011. ‘Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung : PT REMAJA
ROSDAKARYA.
Wahid, Ramli Abdul. 1993. Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali
Press.
[1] Muhammad
‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid. I (t.tp : al- Babi al-Halabi,
t.th.1988).hlm.41.
[2] Ibid
......, hlm. 41.
[3] Rif’at Syauqi
Nawawi dan M.Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Cet. Ke-1; Jakarta: Bulan
Bintang, 1998), hlm. 66.
[4] Kamaluddin
Marzuki, Ulum al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm.
24.
[5] Muhammad bin
Muhammad Abu Syuhbah,hlm 45 dalam Supiana dan Karman, Ulumul Qur’an
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 56.
[6] Ibid
......, hlm. 56.
[7] Al-Zarqaniy, Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an......, hlm. 44
[8] Muhammad Bakr
Ismail dalam Al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an......, hlm.
52-62.
[9] Usman, Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, cetakan 1, 2009), hlm. 48-50.
[10] Aksin Wijaya, Arah
Baru Studi Ulum Al-Qur’an, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, cetakan 1, 2009),
hlm. 139.
[11] Ibid......,
hlm. 140.
[12] Quraish
Shihab. dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
cetakan ke 4, 2008), hlm. 77.
[13] Usman, Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, cetakan 1, 2009), hlm.103.
[14] Departemen
Agama, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an dan Terjemahannya.
[15] Shubhi
al-Shalih, dalam Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit TERAS,
cetakan 1, 2009), hlm.105.
[16]
Acep Hermawan, ‘Ulumul
Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, cetakan
pertama, 2011), hlm. 30.
[17] Ramli Abdul
Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 30-31.
[18] Ramli Abdul
Wahid, op.cit., h.32-33 lihat Muhammad ‘Abdul ‘Azhim, Manahil al-irfan....,
hlm. 108.
[19]
Quraish Shihab.
dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cetakan ke
4, 2008), hlm. 79-81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar