Selasa, 19 Mei 2015

NUZUL AL-QUR’AN DAN ASBAB AL-NUZUL



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kitab suci samawi yang bernama Al-Qur’an adalah sumber inspirasi kehidupan umat manusia. Karena semua yang dibutuhkan oleh manusia tersedia di dalamnya. Tinggal mau atau tidak kita mengambilnya dan menggunakannya. Jika belum menemukan apa-apa di dalamnya, padahal kita senantiasa membacanya, boleh jadi interaksi kita dengan Al-Qur’an belum sempurna, karena kita membacanya hanya sekedar membaca, tanpa melihat aspek lain yang justru lebih penting.
Jika kita menengok sejarah, saat kejayaan Islam mencapai puncaknya, kita akan mengetahui dan menyadari bahwa umat Islam saat itu benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dan inspirasi. Kalau kita kaji lebih dalam biografi tokoh-tokoh ilmuwan pada saat ini, misalnya Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, dan Al-Razi, kita akan mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang banyak menguasai Al-Qur’an.
Al- Qur’an sebagai kalam Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui sebuah proses yang disebut nuzul. Menurut Ibn Faris, kata nuzul berarti hubuth syay’ wa wuqu’ah, turun dan jatuhnya sesuatu. Dalam fakta sejarah, Al-Qur’an dinuzulkan dalam dua macam yaitu dinuzulkan tanpa di dahului oleh sesuatu sebab dan dinuzulkan dengan didahului sebab (khusus). Ayat yang dinuzulkan tanpa ada hal-hal atau kejadian yang mendahuluinya sebagai sesuatu yang menyebabkan nuzul-nya. Sedangkan ayat-ayat yang dinuzulkan dengan di dahului oleh sebab tertentu adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang dinuzulkan berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa dan sebagainya, yang seakan-akan semua itu menjadi sebab di Nuzulkannya ayat Al-Qur’an.
Dari sinilah penulis tertarik untuk membahas tema tentang Nuzul Al-Qur’an dan Asbab Al-Nuzul, karena dari penjelasan diatas ternyata masih banyak kaum awam yang belum paham betul tentang nuzul qur’an dan asbab al-nuzul.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nuzul Al-Qur’an dan Tahapan Turunnya
1.      Pengertian Nuzul al- Qur’an
Kata nuzul al-Qur’an adalah gabungan dari dua kata, yang dalam bahasa Arab susunan semacam ini disebut dengan istilah tarkib idlafi, dan dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan, turunnya al-Quran.
Dalam bahasa Arab, kata “nazala” dapat berarti: “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”.Pengertian konteks semacam ini, misalnya dapat disimak di dalam salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:

    



Artinya: Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah Sebaik-baik yang memberi tempat. Q.S. Al-Mukminuun (29)".
Nuzul, secara etimologi dapat berarti singgah atau tiba di tempat tertentu. Makna nuzul dalam pengertian yang disebut terakhir ini dalam kebiasaan orang Arab menurut ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany sebagai makna hakiki. Sehingga kata singgah, mampir atau tiba umpamanya, sering diungkapkan oleh orang Arab dalam formasi seperti berikut ini yakni: “Seorang penguasa singgah atau tiba di suatu tempat”.[1]
Al-quran sebagai kalam Allah s.w.t. disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui sebuah proses yang disebut nuzul. Secara etimologi, kata nuzul memiliki banyak pengertian. Menurut Ibn Faris, kata nuzul berarti hubuth syay’ wa wuqu’ah, turun dan jatuhnya sesuatu. Sedangkan menurut al-Raghib al-Isfahaniy, kata nuzul berarti al-inhidar min ‘ulw ila asfal, meluncur atau turun dari atas ke bawah. Nuzul dalam pengertian ini dapat dijumapai dalam QS. Al-Baqarah ayat 22.
Kata nuzul, bisa juga berarti singgah atau tiba di tempat tertentu. Pengertian ini, sebagaimana dikatakan al-Zamakhsyariy dalam kitabnya, Asas al-Balaghah, menganggap pengertian sebagai makna hakiki.
al-Zarqaniy berpendapat bahwa yang dimaksud nuzul adalah al-‘ilam bih, yaitu pemberitahuan Allah dalam segala aspeknya. Sementara itu digunakan istilah-istilah inzal, tanzil, munzzal dan nuzul mengisyaratkan akan keagungan dan kebesaran Allah sebagai pemilik kalam. Jadi pengertian nuzul al-quran dalam arti berpindahnya al-quran dari atas ke bawah tidaklah tepat. Kata nuzul ketika diartikan (ta’wil) kepada al-i’llam  hilanglah arti perpindahan sesuatu dari atas ke bawah, sebab pemberitahuan Allah mengenai apapun kepada manusia tidak terikat oleh arah dan waktu.
Pentakwilan tersebut menurut Al-zarqaniy lebih sesuai dengan kedudukan dan eksistensi Al-quran sendiri. Alasannya, bahwa yang harus diacu dari kalam Allah adalah dalallah dan pemahamannya. Pentakwilan kata nuzul dengan i’lam berarti kembali kepada apa yang telah diketahui dan dipahami dari yang diacunya. Kemudian yang dimaksud Al-quran Lauh al-Mahfuzh (QS. Al-Buruj ayat 21-22) dan Bait al’Izzah serta dalam hati Nabi berarti juga Alquran yang telah diberitahukan Allah di kedua tempat dan di bumi sesuai dengan kehendak-Nya sebagai petunjuk bagi manusia.[2] Dalam pada itu harus diakui bahwa bumi sebagai temapt Nabi Muhammad menerima wahyu, secara makro, posisinya dalam keseluruhan tata surya tidak terletak pada posisi yang konstan dan permanen. Hal ini karena terjadi dengan revolusi dan evolusi. Akibat rotasi bumi, muncul waktu siang dan waktu malam. Dalam proses rotasi, revolusi dan evolusi, manusia tidak merasakan apakah dirinya berada persis pada posisi berdiri di atas punggung bumi atau bahkan sebenarnya ia tergantung di bumi dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Sekiranya tidak terikat oleh hukum grafitasi, niscaya ia terlempar dari perputaran bumi.[3] Demikian halnya dengan Nabi Muhammad s.a.w sebagai penerima nuzul, beliau terikat dengan rotasi dan grafitasi bumi, terikat dengan revolusi dan evolusi tata surya. Inilah fakta yang tidak dapat dibantah, termasuk setiap beliau menerima nuzul Al-Qur’an.
Kendati ada ungkapan atas bawah, jika dihubungkan dengan musyabbah bih, maka itu hanyalah hissi saja dan hanya bersifat ma’nawi jika dihubungkan dengan musyabbahnya. Oleh karen itu, penetapan kata nuzul dan sejenisnya tidak dimaksudkan untuk memberi kesan Al-Qur’an nuzul dari atas, tetapi Al-Qur’an bersumber dari zat yang Agung yang berkedudukan Maha Tinggi.
2.      Tahapan Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana dimaklumi, bahwa Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasul-Nya, Muhammad s.a.w, melalui “Amin al-Wahyi” (Jibril a.s). sementara itu, para ulama berbeda pendapat mengenai tahapan-tahapan turunnya wahyu tersebut sebelum disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya itu. Pendapat-pendapat dimaksudkan ialah:[4]
Alquran sebagai dikemukakan para ulama di nuzulkan dalam tiga tahapan, yaitu ke lawh mahfuzh, ke langit dunia (Bait al-‘Izzah) dan ke bumi (Nabi Muhammad). Namun, untuk tahapan pertama menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, tidak digunakan istilah nuzul.[5] Sayangnya, ia tidak menjelaskan alasan-alasan yang mendukung pendapatnya.
a.      Nuzul Al-quran pada tahap pertama
Untuk nuzul tahap pertama ini, cara dan kapan nuzul Al-Quran tidak dapat diketahui, kecuali Allah saja yang mengetahuinya. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa nuzul Al-Quran ke Lawh Mahfuzh secara sekaligus. Sebagai dijelaskan QS. al-Buruj, ayat 21-22
ö@t/ uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ   Îû 8yöqs9 ¤âqàÿøt¤C ÇËËÈ  
Artinya: “Bahkan (yang didustakan mereka itu)  ialah Al Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh”.
Nuzul Al-Quran pada tahap ini memiliki hikmah tersendiri. Dalam hal ini Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah mengatakan bahwa hikmah Nuzul pada tahap ini kembali kepada ke hikmahnya yang umum yang berhubungan dengan Lawh Mahfuzh, bahwa ia merupakan catatan komprehensif tentang segala ketentuan Allah, baik yang telah maupun yang akan terjadi di alam maujud. Ia merupakan bukti keagungan ilmu, iradah dan keluasan kekuasaan-Nya. Menyakini hal ini akan mendorong seseorang untuk semakin memantapkan dan mengokohkan keimanannya kepada Allah, menimbulkan rasa positif (rida) terhadap apa-apa yang telah diberikan Allah kepada semua makhluk-Nya.[6]
b.      Nuzul Al-Quran pada tahap kedua
Dalam tahap ini, Al-Quran yang dinuzulkan dari Lawh Mahfuzh ke Bait al ‘Izzah terjadi secara sekaligus pula. Dalil Naqli yang dapat dikemukakan adalah QS. Al-Baqarah ayat 185, QS. Al-Dukhan ayat 2 dan QS. Al-Qadr ayat 1.
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$#
Artinya : “Bulan Ramadan (masa) yang didalamnya Al-Quran dinuzulkan...”  (QS. Al-Baqarah ayat 185)
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû 7's#øs9 >px.t»t6B 4  
Artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkah...” (QS. Al-Dukhan ayat 3)
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ  
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan..” (QS. Al-Qadr ayat 1)
Menurut ketiga ayat ini, Al-Quran dinuzulkan secara sekaligus di bulan Ramadan yang didalamnya terdapat malam al-Qadr. Tetapi, ada juga para ulama yang menganggap ayat-ayat diatas sebagai dalil bagi nuzul Al-Quran yang pertama ke bumi. al-Zarqaniy mengambil pendapat yang menyatakan Al-Quran pada tahap ini dinuzulkan dalam satu malam, bukan sejumlah malam. Kata laylah pada ayat-ayat di atas menunjukkan arti Al-Quran dinuzulkan dalam satu malam.[7] Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu tidak secara sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu lebih dari 20 tahun.
c.       Nuzul Al-Quran pada tahap ketiga
Tahap selanjutnya Al-Quran dinuzulkan dari Bait al ‘Izzah kepada Nabi Muhammad di bumi secara berangsur-angsur (tanjim). Mengenai lamanya tempo yang dibahiskan untuk menuzulkan Al-Quran pada tahap ini sebagaimana dikemukakan ‘Abd al-Majid Ghazlan ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan Al-Quran dinuzulkan berturut-turut selama 20 tahun, Nabi Muhammad menerima Al-Quran selama 23 tahun, dan ada yang menyebutkan 25 tahun berbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pendapat mereka tentang berapa lama beliau tinggal di Mekkah setelah diangkat menjadi Rasul. Namun, dalam kurun waktu yang hampir mendekati seperempat abad itu dapat diketahui bahwa Al-Quran dinuzulkan secara berangsur-angsur.
Dalil-dalil yang dapat dijadikan rujukan untuk mendukung pendapat di atas, diantaranya QS. al-Isro’ ayat 106 dan al-Furqon ayat 32. Kedua ayat ini dinuzulkan sebagai respon terhadap musyrikin yang mencela Nabi Muhammad. Meraka menuntut agar dinuzulkan secara sekaligus. Dan memang kenyataannya kitab-kitab sebelum Al-Quran dinuzulkan secara sekaligus.
Mengenai nuzul Al-Quran pada tahap ini memiliki banyak hikmah. Muhammad Bakr Isma’il dalam kitabnya, Dirasat fi ‘ulum Alquran, mengemukakannya secara panjang lebar diantaranya:[8] 
1.      Untuk memudahkan Nabi saw dalam menghafal (hifzh)Al-Quran, mengingat Al-Quran bukanlah syair atau prosa (nadsr), tetapi kalam Allah yang sangat berbobot isi maknanya, sehingga memerlukan hafalan dan kajian secara khusus.
2.      Agar mudah di mengerti dan di laksanakan segala isinya oleh umat islam, sebab jika diberikan secara sekaligus orang-orang akan enggan melaksanakan suruhan dan larangan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Quran.
3.      Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup semasa dengan nabi. Mereka semenjak permulaan perjuangannya sudah banyak menemukan dan merasakan kepahitan dan penindasan. Untuk mempermudah penghafalan mereka sangat signifikan jika Al-Quran dinuzulkan secara bertahap: terlebih mereka itu pada umumnya buta huruf.
B. Dalil dan Bukti Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah s.a.w selama rentang waktu kurang lebih 23 tahun, sesuai dengan kasus dan peristiwa yang mendahuluinya, dan sejalan dengan tuntutan situasi dan keadaan masyarakat yang menjadi obyek turunnya.[9]
Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur disesuaikan dengan metode Islam dalam mengubah masyarakat manusia, dan sesuai pula dengan fitrah yang dimilikinya. Kesesuaian antara cara turunnya Al-Qur’an yang berangsur-angsur dengan metode islam yang gradual dalam melakukan perubahan sosial, dan juga dengan sunnah Allah dalam mengubah masyarakat, merupakan salah satu bukti tentang kesatuan sumber penciptaan alam semesta, kehidupan dan manusia. selain itu juga mengandung bukti yang final, bahwa “sumber Al-Qur’an adalah juga pencipta manusia dan alam semesta.
Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur mempunyai dampak dan pengaruh yang mendalam terhadap penyebaran da’wah Islam. Juga berangsur-angsur dalam pewahyuannya, dikarenakan oleh hikmah-hikmah yang khusus diperuntukkan bagi al-Qur’an, rasul, dan orang-orang yang menerima serta mengikuti perintah-Nya. Kebanyakan ulama’ berpendapat, bahwa satu-satunya kitab samawiy yang diturunkan secara berangsur-angsur hanyalah al-Qur’an

Hal ini diabadikan oleh Allah S.W.T di dalam firmannya:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿwöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd ZoyÏnºur 4 y7Ï9ºxŸ2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8yŠ#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös? ÇÌËÈ   Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ     
Artinya :  berkatalah orang-orang yang  kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; Demikianlah untuk memperteguhkan hatimu (Muhammad) dengannya, dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.Q.S. (25): 32-33.
C. Pengertian Asbab Al-Nuzul
Para ulama ulum al-Qur’an menganggap penting asbab nuzul, sebab al-Qur’an menurut Suyuti turun dalam dua bentuk: pertama, ibtida’an, turun yang tidak didahului oleh sebab-sebab tertentu, kedua, ayat yang turun karena sebab-sebab tertentu.[10]
Namun demikian, pembahasan para ulama ulum Qur’an hanya berkaitan dengan nilai pentingnya asbab nuzul dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Mereka mencatat beberapa faedah mengetahui asbab nuzul. Di antaranya dapat mengetahui hikmah yang mendorong disyari’atkannya hukum, penentuan hukum bagi orang yang berpegang pada kaidah al-Ibrah bi khusus sabab, dapat mengetahui makna ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda-beda, dan dapat mengetahui peritiwa penghapusan ayat.[11]
Pengertian Asbab al-Nuzul, kata asbab (tunggal:sabab) berarti alasan atau sebab. Asbab al-Nuzul berarrti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat.[12]
Asbab adalah bentuk plural (jama’) dari kata sabab yang dalam bahasa Indonesia biasa diartikan: sebab, alasan, motif, latar belakang dan lain-lain. Jadi asbab al-nuzul adalah sebab-sebab turunnya ayat al-qur’an.[13]
Dalam al-Qur’an, kata asbab diungkapkan  sebanyak delapan kali, empat kali dalam bentuk singular (tunggal) dan empat kali dalam bentuk plural (jama’).
Ke empat bentuk tunggal tersebut berkenaan dengan kisah Dzulkarnain, yang diabadikan dalam firman Allah:
$¯RÎ) $¨Y©3tB ¼çms9 Îû ÇÚöF{$# çm»oY÷s?#uäur `ÏB Èe@ä. &äóÓx« $Y7t6y ÇÑÍÈ   yìt7ø?r'sù $·7t6y ÇÑÎÈ  
Artinya : Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, Maka diapun menempuh suatu jalan. Q.S. (18): 84-85.
Selain itu kata asbab diabadikan oleh Allah berikut ini:
tA$s%ur ãböqtãöÏù ß`»yJ»yg»tƒ Èûøó$# Í< %[n÷Ž|À þÌj?yè©9 à÷è=ö/r& |=»t7óF{$# ÇÌÏÈ   |=»t7ór& ÏNºuq»yJ¡¡9$# yìÎ=©Ûr'sù #n<Î) Ïm»s9Î) 4ÓyqãB ÎoTÎ)ur ¼çmZàßV{ $\/É»Ÿ2 4 y7Ï9ºxŸ2ur tûÉiïã tböqtãöÏÿÏ9 âäþqß ¾Ï&Î#yJt㠣߹ur Ç`tã È@Î6¡¡9$# 4 $tBur ßøŸ2 šcöqtãöÏù žwÎ) Îû 5>$t6s? ÇÌÐÈ  
Artinya : Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan Sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan Dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. Q.S. (40): 36-37.
Kata asbab dalam ayat yang terakhir ini berarti “abwah” (pintu-pintu).[14] Dengan memperhatikan kenyataan diatas, kiranya dapat dikatakan, bahwa kata sabab dan atau asbab adalah termasuk kalimat musytarak yang mempunyai beberapa arti, sebagaimana telah dikemukakan diatas. Demikian pengertian asbab al-nuzul secara etimologi.
Sedangkan secara terminologi, dapat dikemukakan batasan-batasan pengertian yang berhasil diformulasikan oleh para ulama”. Batasan-batasan tersebut salah satu diantaranya adalah sabab Al-Nuzul adalah Suatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan atau hukum yang diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa.[15]
Dan para pakar ilmu-ilmu al-Quran misalnya syekh Abd Al-Azhim Al-Zarqaniy dalam Manahil Al-Irfan-nya juga mendefinisikan Asbab Al-Nuzul atau sebab Nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penjelasan hukum pada saat itu.[16]
D. Macam-macam Sabab Al-Nuzul
Bila diperhatikan dengan seksama, asbab al-nuzul ayat al-Qur’an itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu: pertama, segi bentuk sebab turunnya ayat. Kedua, jumlah sebab dan ayat yang turun.
Dari segi bentuknya, “asbab al-nuzul” dapat dibagi dua yaitu:
1.      Berbentuk Peristiwa
Adapun sebab-sebab nuzul yang berbentuk peristiwa dapat dibagi menjadi tiga yaitu:[17]
a.       Peristiwa berupa pertengkaran atau persengketaan, seperti perselisihan berkecamuk yang terjadi antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari suku Khazraj. Perselisihan itu timbul dari intrik-intrik atau hasil adu domba yang disulutkan oleh orang-orang Yahudi, sehingga mereka berteriak-teriak dengan mengatakan, “senjata, senjata”. Peristiw tersebut melatarbelakangi turunnya beberapa ayat, salah satunya adalah Alu ‘Imran Q.S. (2): 100.
b.      Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang sahabat yang mengimami salat dalam keadaan sedang mabuk, sehingga mengalami kekliruan dalam membaca suatu surah setelah al-Fatihah yaitu surah al-Khafirun yang dinaksud, tanpa membaca huruf “la” pada ayat “laa a’buduma ta’budhunn”. Peristiwa itu menyebabbkan turunnya firman Allah yaitu surah An-nisa’ (43)
c.       Peristiwa berupa hasyrat, cita-cita atau keinginan seperti kesesuaian-kesesuaian hasrat dan keinginan Umar bin Khaththab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan Allah.menurut riwayat dari sahabat Anas r.a ada beberapa harapan Umar yang dikemukakannya kepada Nabi Muhammad s.a.w, kemudin turunlah ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan Umar tersebut.

2.      Berbentuk Pertanyaan
Sabab-sabab al-Nuzul yang berbentuk pertanyaan juga dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: [18]
a.       Pertanyaan yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu, sperti kasus pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Quraisy tentang “Ashbab al-Khafi” dan “Dzulkarnain”.
b.      Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang masih sedang berlangsung (pada saat itu).
c.       Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang; seperti pertanyaan orang-orang kafir quraisy tentang hari kiamat.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab al-nuzul dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1.      Ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turun ayat lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat itu atau sekelompok ayat yang turun itu adalah satu juga).
2.      Ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid (inti yang terkandung dalam ayat yang diturunkan lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
E. Pentingnya Asbab Al-Nuzul dalam memahami ayat Al-Qur’an
Asbab al-Nuzul mempunyai arti penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Pemahaman asbab al-Nuzul akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan semakin besar jika mengabaikan riwayat sabab al-nuzul. Maka dari itu fungsi memahami asbab al-nuzul sangatlah penting antara lain adalah:[19]
1.      Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin, dan agama.
2.      Membantu memeberikan kejelasasn terhadap beberapa ayat.
3.      Dapat mengkhususkan hukum berbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah “sabab khusus”.
4.      Dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diterapkan.























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah memaparkan pengertian Nuzul Al-Qur’an dan Asbab Al-Nuzul maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kata nuzul al-Qur’an adalah gabungan dari dua kata, yang dalam bahasa Arab susunan semacam ini disebut dengan istilah tarkib idlafi, dan dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan, turunnya al-Quran. Dalam bahasa Arab, kata “nazala” dapat berarti: “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”.
2.      Alquran sebagai dikemukakan para ulama di nuzulkan dalam tiga tahapan, yaitu ke lawh mahfuzh, ke langit dunia (Bait al-‘Izzah) dan ke bumi (Nabi Muhammad).
3.      Pengertian Asbab al-Nuzul, kata asbab (tunggal:sabab) berarti alasan atau sebab. Asbab al-Nuzul berarrti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat. Asbab adalah bentuk plural (jama’) dari kata sabab yang dalam bahasa Indonesia biasa diartikan: sebab, alasan, motif, latar belakang dan lain-lain. Jadi asbab al-nuzul adalah sebab-sebab turunnya ayat al-qur’an.
4.      Bila diperhatikan dengan seksama, asbab al-nuzul ayat al-Qur’an itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu: pertama, segi bentuk sebab turunnya ayat. Kedua, jumlah sebab dan ayat yang turun.
5.      Maka dari itu fungsi memahami asbab al-nuzul sangatlah penting antara lain adalah: Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin, dan agama, Membantu memeberikan kejelasasn terhadap beberapa ayat, Dapat mengkhususkan hukum berbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah “sabab khusus”, Dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diterapkan.
B. Saran
Dalam penulisan Makalah ini penulis sangat menyadari akan kekurangan yang dimiliki, terutama dalam memeperoleh dan menggambarkan informasi mengenai tema ini. Oleh karena itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat penulisan harapkan. Dan semoga makalah yang jauh dari kesempurnaan ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca.


















DAFTAR PUSTAKA

‘Azhim al-Zarqaniy, Muhammad. 1988. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid. I, t.tp : al- Babi al-Halabi.
Nawawi, Rif’at Syauqi dan M.Ali Hasan. 1988. Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. Ke-1; Jakarta: Bulan Bintang.
Marzuki, Kamaluddin. 1992. Ulum al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Supiana dan Karman. 2002. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika.
Usman. 2009. Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Penerbit TERAS.
Wijaya, Aksin. 2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Shihab, Quraish. dkk, 2008. Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Departemen Agama, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA.
Wahid, Ramli Abdul. 1993. Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Press.            






[1] Muhammad ‘Abd.  ‘Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid. I (t.tp : al- Babi al-Halabi, t.th.1988).hlm.41.
[2] Ibid ......, hlm. 41.
[3] Rif’at Syauqi Nawawi dan M.Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Cet. Ke-1; Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 66.
[4] Kamaluddin Marzuki, Ulum al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 24.
[5] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah,hlm 45 dalam Supiana dan Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 56.
[6] Ibid ......, hlm. 56.
[7] Al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an......, hlm. 44
[8] Muhammad Bakr Ismail dalam Al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an......, hlm. 52-62.
[9] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, cetakan 1, 2009), hlm. 48-50.
[10] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, cetakan 1, 2009), hlm. 139.
[11] Ibid......, hlm. 140.
[12] Quraish Shihab. dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cetakan ke 4, 2008), hlm. 77.
[13] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, cetakan 1, 2009), hlm.103.
[14] Departemen Agama, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an dan Terjemahannya.
[15] Shubhi al-Shalih, dalam Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, cetakan 1, 2009), hlm.105.
[16] Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, cetakan pertama, 2011), hlm. 30.
[17] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 30-31.
[18] Ramli Abdul Wahid, op.cit., h.32-33 lihat Muhammad ‘Abdul ‘Azhim, Manahil al-irfan...., hlm. 108.
[19] Quraish Shihab. dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cetakan ke 4, 2008), hlm. 79-81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar